KITA BEKERJA UNTUK SIAPA ?
KITA BEKERJA UNTUK SIAPA ?
Oleh : Cahyadi Takariawan
Tidak pernah bosan saya mengajak anda semua untuk selalu berbuat kebaikan, semaksimal kemampuan yang bisa kita lakukan. Ajakan ini sesungguhnya untuk menyemangati diri sendiri, dan mengingatkan diri ini, agar selalu melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Sejarah hidup yang teramat pendek jangan disia-siakan dengan aktivitas yang tidak memberi kontribusi bagi kebaikan. Namun, ada catatan tebal yang harus selalu kita ingat : kita bekerja dan berbuat baik, untuk siapakah ?
Suatu saat anda menolong tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Dengan penuh perasaan tanggung jawab anda membantunya, anda memberikan pertolongan yang sangat diperlukannya. Pada kesempatan yang lain, tetangga tersebut memerlukan pertolongan lagi. Bergegas anda memberikan bantuan. Berkali-kali anda mendatangi rumahnya, dan memberikan bantuan yang sangat bermanfaat baginya. Lagi dan lagi, tidak bisa dihitung berapa banyak anda menolongnya. Tidak bisa diingat lagi berapa kali anda berbuat baik kepadanya.
Namun bukannya ucapan terimakasih yang anda dapatkan. Tetangga tersebut justru menyebarkan fitnah kemana-mana, justru menjelek-jelekkan anda di hadapan warga, bahwa anda terlalu pelit untuk menolong. Anda dianggap tidak ikhlas membantu, dan sangat individualis. Anda dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi tetangga. Ramailah gosip di antara tetangga, menyebar berita negatif tentang anda. Akhirnya anda menjadi selebritis di lingkungan tempat tinggal, karena banyak dibicarakan orang.
Sedih bukan main rasa hati anda. Rasanya sudah tidak kurang anda membantu tetangga tersebut dalam berbagai kesulitan hidupnya. Lalu mana imbalan baiknya ? Mana ucapan terima kasihnya ? Mana apresiasi positifnya ? Mengapa justru ia melempar fitnah dan tuduhan kemana-mana ? Saat mengalami kejadian seperti itu, apa yang akan anda lakukan ?
“Kalau begitu, selamanya saya tidak akan membantu dia lagi. Tidak ada gunanya saya membantu orang yang tidak mengetahui balas budi”.
“Menyesal sekali saya membantunya selama ini. Ternyata dia orang yang tidak layak dikasihani, justru sekarang dia memusuhi”.
“Anda saja saya tidak membantunya selama ini, itu akan lebih baik bagi saya. Karena sudah banyak membantu, masih juga difitnah”.
Sayang sekali jika seperti itu ungkapan anda. Sungguh, anda telah kalah di titik itu. Jika kita bekerja dan berbuat baik dengan penuh harapan akan mendapatkan apresiasi positif dari manusia, bisa dipastikan kita akan mengalami kekecewaan yang teramat fatal. Karena bisa jadi, pekerjaan dan perbuatan baik tersebut tidak mendapatkan apresiasi seperti yang kita harapkan. Bahkan ada kalanya, mereka yang mendapatkan kebaikan dari kita, justru menjadi orang yang membenci dan memusuhi kita. Orang yang paling banyak kita bantu, bisa jadi justru paling memusuhi dan membenci kita.
Baiklah, kita tidak perlu merinci sebab-sebabnya, mengapa apresiasi yang kita harapkan ternyata tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Tidak perlu kita korek sebab-sebabnya. Namun kita lebih fokus kepada pertanyaan yang lebih substansial, untuk siapakah kita berbuat kebaikan ? Untuk siapakah kita bekerja ? Jika mengharap balasan kebaikan dari manusia, ingatlah manusia itu sangat lemah dan penuh keterbatasan. Tidak mungkin akan bisa memberikan apresiasi yang memadai sesuai dengan kadar kebaikan yang kita berikan.
Saya mengingatkan diri sendiri dan anda semuanya, mari bekerja untuk Sang Pencipta Manusia. Tuhannya manusia. Pemilik dan Penguasa alam semesta. Dialah Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa. Dialah Dzat Yang Maha Sempurna. Yang bisa memberikan apresiasi secara tepat dan adil. Yang bisa memberikan balasan bahkan secara berlipat, dan tanpa batas. Yang tidak pernah memiliki kekurangan. Yang tidak memiliki keterbatasan. Dia Maha Membalas segala perbuatan. Sekecil apapun kebaikan, ataupun keburukan. Dia sangat teliti dan jeli.
Mungkin anda adalah tokoh masyarakat, yang telah banyak berbuat kebaikan untuk membangun masyarakat di desa anda. Puluhan tahun anda bekerja untuk memajukan masyarakat, berjuang untuk membangun ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Anda kerjakan siang dan malam, tanpa mengenal lelah. Anda mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta benda dan semua fasilitas yang anda miliki demi kebaikan masyarakat desa. Puluhan tahun anda berada di tengah mereka mengajak melakukan kebaikan dan hasilnya sedikit demi sedikit mulai terasakan. Perlahan namun pasti, kondisi wilayah anda semakin membaik, semakin maju, semakin kondusif.
Namun jangan anda kecewa, jika anda maju dalam pemilihan kepala desa, ternyata bukan anda pemenangnya. Orang lain telah terpilih menjadi pemenang, dan orangnya biasa saja. Anda merasa sangat heran, bagaimana ada orang yang tidak ikut dalam perjuangan puluhan tahun di desa itu, namun justru menjadi pemenang dalam pemilihan kepala desa ? Anda merasa telah menjadi tokoh yang sangat dikenal masyarakat desa melalui perjuangan panjang yang anda lakukan, namun tidak menghasilkan suara signifikan dalam pemilihan.
Yang bisa lebih menyakitkan bagi anda, ternyata ada sebagian warga desa yang melakukan black campaigne terhadap anda. Menjelek-jelekkan anda, menjatuhkan nama anda, mengajak masyarakat membenci dan akhirnya tidak memilih anda. Sedih sekali rasanya, anda merasa telah menghabiskan puluhan tahun yang panjang untuk perjuangan, namun orang lain telah menikmati hasilnya. Anda merasa dicampakkan dan dibuang secara hina ke tong sampah. Di masa tua, ternyata anda tidak mendapatkan posisi yang mapan.
Dengan marah dan penuh emosi, anda berbicara di hadapan masyarakat desa. “Jika tidak ada saya, desa ini masih tertinggal, kumuh dan kotor. Sayalah yang telah berjuang tiga puluh tahun membangun desa ini. Dulu tidak ada orang yang mau berjuang, semua saya lakukan sendirian. Ternyata kalian tidak menghargai perjuangan saya. Sia-sia semua yang sudah saya lakukan untuk kalian”.
Sayang sekali jika anda menyesali semua tumpukan kebaikan yang telah anda usahakan puluhan tahun. Tetas keringat dan air mata telah anda relakan mewarnai detik-detik perjuangan yang sangat panjang. Melelahkan, dan semua telah Allah berikan catatan balasan berupa pahala kebaikan atas segala detail usaha serta jerih payah anda. Keringat anda, rasa lelah anda, air mata anda, bermalam-malamnya anda, pengorbanan anda, semua telah Allah tetapkan balasan kebaikan. Telah Allah tuliskan pahala atas segala amal anda. Jangan anda merusak dan menghapus pahala kebaikan itu dengan rasa penyesalan dan rasa kesia-siaan. Jangan, karena itu potensial merusakkan nilai amal kebaikan anda.
Mungkin anda adalah tokoh dalam sebuah organisasi dakwah. Sejak awal mula berdirinya organisasi, anda termasuk perintisnya. Anda mengetahui segala suka duka merintis dan membesarkan organisasi dakwah, semua penuh perjuangan yang melelahkan. Berbagai tantangan dan hambatan terus menghadang sejak awal pendirian, dan anda termasuk tokoh yang gigih berjuang menghidupi organisasi. Sekian banyak kekurangan dan kelemahan anda hadapi bersama rekan-rekan seperjuangan, di masa-masa sulit anda mampu bertahan dan tegar dengan banyaknya ujian berupa kesulitan.
Anda relakan meninggalkan anak isteri, berlama-lama melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Anda relakan meninggalkan pekerjaan, demi perjuangan menyebarkan usaha dakwah ke berbagai tempat. Sampai ke pelosok, sampai ke pedalaman, sampai daerah terpencil. Menyeberang sungai, mendaki bukit, menaiki sepeda motor tua, kadang berjalan kaki puluhan kilometer. Menyeberang laut dengan menaiki kapal kelas super ekonomi, tanpa membawa bekal yang berarti. Sementara keluarga yang di rumah juga tidak dicukupi dengan keperluan hidup sehari hari. Tawakal kepada Allah, dan Allah Maha Mencukupi.
Kini organisasi dakwah anda sudah membesar. Pengurus dan kader sudah bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Tidak pernah terbayangkan oleh anda, bahwa organisasi dakwah yang anda rintis tigapuluh tahun yang lalu itu akhirnya tumbuh berkembang, membesar, menjadi sebuah kekuatan yang sangat membanggakan. Terasa lega, bahwa hasil perjuangan panjang itu mulai kelihatan buahnya. Tiga puluh tahun yang lalu, organisasi yang anda rintis itu tidak dikenal siapa-siapa, tidak dipedulikan siapa-siapa, bahkan banyak diejek dan ditertawakan, namun dengan sabar anda tetap membersamainya. Kini organisasi itu telah menjelma menjadi idola, banyak dielu-elukan dan diakui kebesarannya.
Namun, sesuatu terasa mengganjal bagi anda. Perjuangan yang telah anda jalani puluhan tahun itu ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari petinggi organisasi. Beberapa orang generasi awal yang merintis organisasi bersama anda, kini telah menempati posisi penting. Mereka memiliki kehidupan yang sangat layak, berbeda dengan anda. Seorang teman anda, sesama generasi perintis organisasi, memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan fasilitas kehidupan yang sangat mencukupi. Anak-anaknya sekolah dan kuliah di luar negeri. Isterinya tampak mengenakan perhiasan warna warni. Tersulutlah rasa iri, mengapa jauh berbeda seperti ini ?
Anda hanyalah seorang tua yang berjalan kaki. Rumah anda sangat sederhana di pinggiran kota. Sepeda motor anda seusia perjuangan yang telah anda jalani. Bahkan anda kesulitan membiayai sekolah dan kuliah anak-anak anda, jangankan ke luar negeri. Sekolah di kampung sendiri saja demikian berat membiayai. Hidup anda hingga kini masih penuh dinamika perjuangan, sementara anda lihat generasi seperjuangan anda telah berada pada posisi kemapanan.
Marah sekali rasa hati anda. Geram, anda menggoreskan kata-kata, menuliskan kegelisahan. “Organisasi dakwah ini besar karena perjuangan yang saya lakukan. Jika tidak saya hidupi organisasi ini tiga puluh tahun yang lalu, tidak akan menjadi sebesar ini. Saya telah habiskan semua yang saya punya, telah saya sumbangkan apa yang melekat pada diri saya dan isteri saya. Tanah saya jual, perhiasan istri kami relakan terjual, semua demi kelangsungan hidup organisasi. Pekerjaan tetap di perusahaan saya tinggal, agar saya bisa berkhidmat untuk organisasi, padahal dulu saya mendapatkan gaji besar dari perusahaan. Semua saya relakan demi membesarkan organisasi ini”.
“Namun setelah organisasi ini membesar, kalian campakkan saya begitu saja. Rasanya seperti menjadi orang terbuang, menjadi orang yang tidak memiliki arti sama sekali. Kalian telah menjadi orang yang lupa diri, kalian hidup bermewah sementara saya hidup seperti sampah. Menyesal sekali saya telah ikut membesarkan organisasi ini. Sia-sia semua perjuangan yang saya lakukan, jika akhirnya hanya seperti ini. Brengsek semua kalian ini, tidak bisa menghargai jasa para pendiri”.
Marah, gemas, geram, dendam. Bercampur baur antara kecintaan dengan kebencian. Anda melontarkan sumpah serapah, mengungkit-ungkit jasa dan kebaikan yang sudah anda lakukan tiga puluh tahun. Anda menyesali kebaikan yang sudah anda lakukan, berupa perjuangan panjang, berupa berlelah-lelah, berjalan siang dan malam ke berbagai wilayah, berjaga malam untuk merancang dan mengaplikasikan strategi. Anda merasa tidak dihargai dan tidak mendapatkan apresiasi yang memadai.
Anda ungkit tanah yang dulu anda jual, sepeda motor yang digadaikan, perhiasan isteri yang disumbangkan, perabotan rumah yang digunakan melengkapi perkantoran. Anda ungkap kembali waktu yang telah anda curahkan, tenaga yang telah anda baktikan, pikiran yang telah anda sumbangkan. Tigapuluh tahun perjuangan bukanlah waktu yang sedikit, jelas itu masa yang panjang. Anda ungkit itu semua, demi mendapatkan pengakuan dan apresiasi. Anda merasa telah terzhalimi.
Tidak, anda tidak boleh seperti itu. Anda tidak layak mengungkit dan menyesali amal kebaikan yang telah Allah tetapkan pahala berlipatnya. Anda tidak boleh merasa sia-sia terhadap segala langkah perjuangan anda puluhan tahun membesarkan organisasi dakwah, dengan segala kesulitan dan hambatan, dengan segala keringat, darah dan air mata. Anda tidak boleh meratapi sejarah yang telah anda torehkan dalam membesarkan organisasi. Jangan lakukan, karena itu semua potensial merusakkan amal kebaikan anda. Jangan anda sesali, karena itu berpotensi merontokkan pahala kebaikan yang telah Allah tuliskan.
Anda boleh memberikan masukan dan kritik, tentu saja, dalam rangka tausiyah dan menguatkan organisasi saat ini. Namun tidak dengan kebencian, tidak dengan dendam, tidak dengan kemarahan, tidak dengan kedengkian. Apalagi hanya terpicu oleh perbedaan materi, ada sebagian generasi perintis organisasi yang berada dalam kondisi kemapanan, dan sementara anda termasuk yang masih sangat jauh dari kesejahteraan. Jadi sebenarnya kemarahan anda karena apa ?
Semua langkah kebaikan, semua tetes keringat, semua air mata, semua titik darah yang pernah keluar dari diri anda, telah menjadi amal kebaikan yang berlipat pahalanya. Telah membuahkan berkah bagi diri, keluarga dan organisasi anda. Tidak ada kebaikan yang sia-sia, semua pasti ada hasilnya. Tidak mesti hasil itu berupa balasan langsung di dunia, namun bisa kita nikmati nanti di surga. Tidak mesti balasan kebaikan itu datang dari organisasi yang kita tumbuhkan, namun bisa jadi dari arah lain yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Allah Maha Adil dan Bijaksana.
Berharaplah kepada Allah saja, sebab Dia yang Maha Kaya. Berharaplah kepada Allah, sebab Dia Yang Maha memberi balasan. Pasti anda tidak akan kecewa. Allah tidak akan menyia-nyiakan semua jerih payah anda. Allah tidak akan melupakan semua usaha dan perjuangan anda. Allah tidak akan melalaikan balasan bagi setiap titik kebaikan, walau sebesar dzarrah. Tidak ada manusia yang bisa melakukan itu semua dengan sempurna, karena manusia sangat banyak kelemahan dan keterbatasannya.
Menyakitkan rasanya ? Dakwah ternyata melelahkan, dakwah ternyata menyakitkan, benarkah ? Coba kita simak kembali tausiyah ustadz Rahmat Abdullah, Allah yarham.
“Memang seperti itulah dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu.. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai..
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret.. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.. Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah….
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada Abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..”
Demikian untaian mutiara yang sangat dalam dari Allah Yarham, ustadz Rahmat Abdullah. Sekarang saatnya introspeksi, masuk ke dalam relung jiwa kita sendiri. Menata, mengaca, mengoreksi hati. Menjawab dengan jujur, sebenarnya kita bekerja untuk siapa ? Jika untuk manusia, bersiaplah untuk merana. Jika untuk Allah semata, bersiaplah mendapatkan kebaikan berlipat dariNya. Di dunia, atau nanti di surgaNya.
Pancoran Barat, 21 April 2011
akan sangat rugi kita yang bekerja tidak menjadikan Allah sebagai tujuan